A. Dampak Desentralisasi Pendidikan terhadap Kualitas
Pendidikan
Penerapan desentralisasi pendidikan memiliki dampak
positif dan negatif. Adapun penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Dampak Positif
Ada
beberapa dampak positif dari penerapan desentralisasi pendidikan, yaitu
meningkatkan efektivitas sekolah, orang tua lebih terlibat dalam pengelolaan
pendidikan, meningkatkan daya saing yang tinggi, dan wewenang pengambilan
kebijakan semakin luas bagi sekolah.
Dampak
positif pertama adalah meningkatkan efektifitas sekolah. Adapun karakteristik
sekolah efektif yang tinggi meliputi: 1) prestasi, orientasi, harapan yang
tinggi, 2) kepemimpinan pendidikan, 3) konsensus dan kohesi di antara staf, 4)
kualitas kurikulum/kesempatan untuk belajar, 5) iklim sekolah, 6) suasana
tertib, 7) orientasi yang efektif dan hubungan internal yang baik, 8) potensi
yang evaluatif, 9) keterlibatan orang tua, 10) iklim kelas, dan 11) waktu
belajar yang efektif (USAID, t.t: 5-6). Dengan demikian, sekolah yang efektif
merupakan hasil dari keefektifan komponen-komponen sekolah.
Kedua
berkenaan dengan keterlibatan orang tua di sekolah. Desentralisasi akan
melibatkan orang tua dalam mencapai pendidikan yang berkualitas. Hal tersebut
dikarenakan orang tua dapat memantau kegiatan siswa di rumah maupun di sekolah.
Dengan demikian keterlibatan orang tua akan memberi efek positif dalam proses
belajar, penyesuaian di sekolah, dan prestasi siswa (Desforges, C. &
Abouchhar, A., 2003: 4). Dengan kata lain, komunikasi yang terjalin antara
sekolah dan orang tua akan lebih baik, sehingga sekolah lebih mudah memberikan
informasi tentang perkembangan siswa dan di pihak lain orang tua akan lebih
mudah mendapatkan informasi mengenai perkembangan anaknya.
Ketiga yaitu meningkatkan daya saing yang
tinggi. Jiwa dan ruh kebijakan desentralisasi pendidikan telah lama diidamkan
oleh masyarakat, khususnya dalam menghadapi era persaingan bebas yang
mengharuskan masyarakat kita memiliki kompetensi dan daya kompetitif yang
tinggi (Albab, U., 2005: 3). Maka antarsekolah akan berlomba-lomba meningkatkan
kualitas sekolah sehingga menghasilkan lulusan berkualitas yang dapat
dimanfaatkan di dunia kerja.
Keempat
yaitu dampak positif yang dilihat dari aspek Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang
merupakan implementasi dari desentralisasi pendidikan. Desentralisasi
pendidikan memberikan wewenang yang luas kepada sekolah untuk pengambilan
keputusan bersama termasuk guru. Dengan demikian, peran serta guru dalam pengambilan
keputusan dapat meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta
metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran (Rivai, V.
& Murni, S., 2012: 146).
Ada beberapa
penelitian yang menunjukan bahwa desentralisasi pendidikan berpengaruh positif
terhadap kualitas pendidikan. Di antaranya adalah hasil penelitian-penelitian
yang dipublikasikan oleh USAID (t.t: 8-12). Hasil penelitian itu meliputi, penelitian
yang dilakukan oleh Educo pada tahun 2000 dan Nikaragua tahun 1999, secara luas
membuat kesimpulan bahwa ada pengaruh positif dan hubungan yang signifikan
secara statistik antara tingkat pengambilan keputusan terhadap prestasi siswa
dan juga mengukur pengambilan keputusan kepegawaian guru dan pemantauan
kegiatan guru. Selanjutnya adalah penelitaian yang telah dilakukan oleh PEC dan
AGE di Meksiko tahun 2006 dan Gropello di Chili tahun 2002 menunjukan bahwa
desentralisasi meningkatkan kinerja sekolah dan prestasi siswa. Kemudian hasil
studi Galiani dan Schargrodsky tahun 2002 di Argentina menunjukan bahwa sekolah desentralisasi
memiliki dampak lebih baik pada peningkatan rata-rata nilai ujian siswa
dibandingkan dengan sekolah sentralisasi. Terakhir adalah hasil studi yang
dilakukan di Ethiopia pada tahun 2002, menunjukan bahwa angka partisipasi dunia
belajar untuk usia belajar anak meningkat lebih dari 40 persen setelah empat
tahun.
2. Dampak Negatif
Desentralisasi
pendidikan tidak selalu memberikan dampak positif dalam peningkatan kualitas
pendidikan tetapi juga dampak negatif. Beberapa dampak negatif desentralisasi
pendidikan sebagai berikut: Pertama, dikemukakan oleh USAID berdasarkan hasil
penelitiannya yang mengatakan bahwa dalam hal pembiayaan, desentralisasi
membutuhkan pembiyaan yang tidak sedikit sehingga perbedaan kapasitas fiskal di
tingkat lokal dapat membuat kesenjangan pengeluaran dan penghasilan pendidikan
(USAID, t.t: 1). Kedua, hasil studi lain yang dilakukan di Sao Paulo, Brazil
ditemukan bahwa desentralisasi memperlebar kesenjangan antara sekolah yang baik
dan buruk (Madeira, 2007: 19-24). Ketiga, tidak meratanya kemampuan keuangan
daerah (Pendapatan Asli Daerah) dalam menopang pembiayaan pendidikan di
daerahnya, terutama daerah-daerah miskin (Albab, U., 2005: 4). Dari ketiga dampak negatif tersebut lebih
menekankan pada kesenjangan antara penyelenggaraan desentralisasi pendidikan
yang mahal dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
B. Keberlangsungan Desentralisasi Pendidikan di Indonesia
Pada awalnya desentralisasi pendidikan tidak
berjalan sesuai dengan harapan, dikarenakan kebijakan desentralisasi pendidikan
tidak diimbangi dengan penyiapan sumber daya manusia di lapangan. Oleh karena
itu, pendelegasian wewenang urusan
pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah cenderung masih dimaknai
sebagai penyerahan kekuasaan daripada penyerahan aspek pelayanan. Akibatnya
Pemerintah Daerah (khususnya Kabupaten/Kota) berpotensi menjadi penguasa tanpa
batas. Hal tersebut tercermin pada implementasi kebijakan desentralisasi
pendidikan di banyak daerah yang tidak sesuai dengan semangat kebijakan itu
sendiri. Banyak ditemukan daerah malah memperpanjang “meja birokrasi” hingga
tidak mustahil memunculkan resiko kebocoran anggaran (Albab, U., 2005: 1-2).
Desentralisasi pendidikan di
Indonesia dapat di lihat dari program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai
diperkenalkan pada tahun 1999 oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui
proyek rintisan Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS), sehingga MBS merupakan model otonomi pendidikan yang diterapkan di
sekolah. MBS merupakan strategi yang
dipilih untuk meningkatkan keunggulan dalam pengelolaan pendidikan. Hal
tersebut dimuat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun
2003 pada pasal 51 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pengelolaan satuan
pendidikan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan
minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Manajemen
Berbasis Sekolah menekankan keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam
mengelola sekolah, sehingga terbentuklah komite sekolah sebagai wadah penyaluar
aspirasi orang tua dan masyarakat. Berdasarkan hasil kajian Bjork (2009) dan Pradhan, et al. (2011), dan
Chen et al., tentang partisipasi masyarakat dan MBS di Indonesia terutama yang
berkaitan dengan komite sekolah menunjukan hasil sebagai berikut:
1. Komite sekolah dilihat hanya sebagai
pengganti Badan Pembantu Penyelenggara
Pendidikan (BP3) dengan fungsi utamanya sebagai penggalang dana.
2. Banyak orang tua menerima informasi terbatas
dari sekolah dan memiliki kesadaran yang rendah tentang potensi mereka untuk
berperan dalam menjamin akuntabilitasnya di mata masyarakat.
3. Kepala sekolah pun sering kali masih
menempatkan kepentingan akuntabilitas mereka secara vertikal (ke kabupaten/kota)
daripada secara horizontal (terhadap masyarakat).
Namun studi kualitatif tentang partisipasi masyarakat yang dilakukan
Bjork (2009) dan bukti-bukti terbaru lainnya menunjukkan bahwa MBS dan komite
sekolah yang mendukungnya mempunyai pengaruh yang semakin penting dalam
penyediaan dan kualitas pendidikan (BEC-TF,
2011: 2).
Komite sekolah merupakan pengganti BP3 yang
dituangkan dalam peraturan menteri pendidikan nasional nomor 044/U/2002 tentang dewan pendidikan dan komite sekolah, telah
diterapkan di hampir seluruh sekolah di Indonesia. Berdasarkan survei
yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukan bahwa 99% sekolah dan madrasah yang
ada di Indonesia telah memiliki komite sekolah (Vernez, G.,
Karam, R., & Marshall, J. H., 2012: 41). Ini merupakan sesuatu yang positif dalam
peningkatan partisifasi orang tua dan masyarakat untuk peningkatan kualitas
pendidikan.
Adapun tugas dan peran komite sekolah berdasarkan
undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 56
ayat 3 mengemukakan bahwa komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri
dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidik pada tingkat satuan pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas, hasil kajian yang dilakukan oleh
Albab, U. (2005) yang pada saat itu desentralisasi pendidikan di Indonesia
kurang berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan ruh kebijakan tersebut,
maka hal tersebut menjadi terbalik pada tahun-tahun berikutnya. Bukti perbaikan
desentralisasi pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari keberhasilan
pemerintah dalam program Manajemen Berbasis Sekolah yang merupakan implementasi
dari desentralisasi pendidikan. Berdasarkan
laporan USAID yang telah melakukan kerjasama dengan pemerintah Indonesia
dalam melakukan program pendidikan dasar desentralisasi (DBE1) pada tahun 2005
sampai dengan tahun 2010 menunjukan bahwa telah ada perubahan ke arah positif
dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Manajemen
Berbasis Sekolah dapat dilakukan secara sukses di Indonesia dan hal ini
mendukung perbaikan mutu manajemen dan tatalayanan di sekolah/madrasah. Dalam
konteks ini, DBE1 menguatkan sistem pendidikan di Indonesia. Sebagai hasilnya,
sekolah/madrasah mitra maupun sekolah/madrasah yang terlibat dalam diseminasi
memiliki manajemen yang lebih terbuka, transparan, dan partisipatif, memiliki
perencanaan yang lebih baik dan berdasarkan analisis data dan dilakukan dengan
berkonsultasi kepada warga masyarakat, dan partisipasi yang lebih baik dari
warga setempat melalui adanya komite sekolah (USAID, t.t: 22).
Namun demikian, pelaksanaan MBS tidak sepenuhnya
berhasil. Setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan MBS.
Pertama, pengelola pendidikan masih menerapkan pola lama dimana administrator
sebagai penentu kebijakan, guru sebagai pengajar, dan orang tua sebagai
pendukung kebijakan. Kedua, sekolah memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan
penghargaan dan pendisiplinan murid daripada pengajaran dan kurikulum (Rivai,
V. & Murni, S., 2012: 146-147). Hal tersebut sesuai dengan yang telah
dijelaskan di atas bahwa kecenderungan kualitas SDM yang kurang memadai dan
kurangnya pendapatan asli daerah untuk membiayai pengimplementasian desentralisasi
pendidikan melalui MBS menjadi faktor penghambat keberhasilan implementasi MBS.
Akan tetapi pada faktanya di Indonesia, desentralisasi pendidikan melalui MBS
cenderung dipaksakan bagi semua tingkat kapabilitas daerah atau sekolah yang
padahal sebagian dari daerah/sekolah belum mampu menjalankan program tersebut
dikarenakan pendapatan daerah yang belum bisa memenuhi kebutuhan pembiayaan
pendidikan atau tingkat SDM sekolah yang kurang memadai.
Albab, U. (2005). Analisis SWOT kebijakan desentralisasi
pendidikan di Indonesia.
Jurnal.
Basic Education Capacity Trust
Fund (BEC-TF). (2011). Meningkatkan
Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia.
Jurnal.
Desforges, C. & Abouchhar, A. (2003). The impact of parental involpment, parental
support, and family education on pupil achievement and adjustment: A literature
review. New York: Department for Education and Skills.
Dwiningrum, S. I. A. (2015). Desentralisasi dan partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hinsz, et al. (2006). Effects of
decentralization on primary education: Phase I: A survey of East Asia and the
Pacific Islands. UNICEF Regional Office for Asia and the Pacific.
Jalal, F. & Supriadi, D. (2001). Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah.
Yogyakarta: Adi Cita.
Kunandar.
(2007). Guru Profesional. Jakarta Utara: Rajawali Pers.
Madeira, R. (2007).
The effects of decentralization on schooling:
Evidence from the Sao Paulo state’s education reform. Sao Paulo: University
of Sao Paulo.
Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang nomor 20 tahun 2003, tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
________________. (2005). Undang-Undang nomor 14 tahun 2005, tentang
Guru dan Dosen.
________________. (2007). Permendiknas nomor 13 tahun 2007, tentang
Standar Kepala Sekolah/Madrasah.
Rivai, V. &
Murni, S. (2012). Education management:
Analisis teori dan praktik. Jakarta: Rajawali Pers.
USAID. (Tanpa tahun). Identifying the impact of education decentralization
on the quality of education.
USA: United State Agency for International Development.
______. (Tanpa tahun). Implementing School-Based Management in
Indonesia: The DBE1 experience: 2005 –
2010. USA: United State
Agency for International Development.
Vernez, G., Karam, R., & Marshall, J. H. (2012). Implementation of school-based management in
Indonesia. Santa Monica: RAND Corporation.
Widodo, S. E. (2015). Manajemen pengembangan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar