Jumat, 20 April 2018

Mengidentifikasi Dampak Desentralisasi Pendidikan terhadap Kualitas Pendidikan


A.      Dampak Desentralisasi Pendidikan terhadap Kualitas Pendidikan
            Penerapan desentralisasi pendidikan memiliki dampak positif dan negatif. Adapun penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:
1.    Dampak Positif
      Ada beberapa dampak positif dari penerapan desentralisasi pendidikan, yaitu meningkatkan efektivitas sekolah, orang tua lebih terlibat dalam pengelolaan pendidikan, meningkatkan daya saing yang tinggi, dan wewenang pengambilan kebijakan semakin luas bagi sekolah.
           Dampak positif pertama adalah meningkatkan efektifitas sekolah. Adapun karakteristik sekolah efektif yang tinggi meliputi: 1) prestasi, orientasi, harapan yang tinggi, 2) kepemimpinan pendidikan, 3) konsensus dan kohesi di antara staf, 4) kualitas kurikulum/kesempatan untuk belajar, 5) iklim sekolah, 6) suasana tertib, 7) orientasi yang efektif dan hubungan internal yang baik, 8) potensi yang evaluatif, 9) keterlibatan orang tua, 10) iklim kelas, dan 11) waktu belajar yang efektif (USAID, t.t: 5-6). Dengan demikian, sekolah yang efektif merupakan hasil dari keefektifan komponen-komponen sekolah.
       Kedua berkenaan dengan keterlibatan orang tua di sekolah. Desentralisasi akan melibatkan orang tua dalam mencapai pendidikan yang berkualitas. Hal tersebut dikarenakan orang tua dapat memantau kegiatan siswa di rumah maupun di sekolah. Dengan demikian keterlibatan orang tua akan memberi efek positif dalam proses belajar, penyesuaian di sekolah, dan prestasi siswa (Desforges, C. & Abouchhar, A., 2003: 4). Dengan kata lain, komunikasi yang terjalin antara sekolah dan orang tua akan lebih baik, sehingga sekolah lebih mudah memberikan informasi tentang perkembangan siswa dan di pihak lain orang tua akan lebih mudah mendapatkan informasi mengenai perkembangan anaknya.
Ketiga yaitu meningkatkan daya saing yang tinggi. Jiwa dan ruh kebijakan desentralisasi pendidikan telah lama diidamkan oleh masyarakat, khususnya dalam menghadapi era persaingan bebas yang mengharuskan masyarakat kita memiliki kompetensi dan daya kompetitif yang tinggi (Albab, U., 2005: 3). Maka antarsekolah akan berlomba-lomba meningkatkan kualitas sekolah sehingga menghasilkan lulusan berkualitas yang dapat dimanfaatkan di dunia kerja. 
       Keempat yaitu dampak positif yang dilihat dari aspek Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang merupakan implementasi dari desentralisasi pendidikan. Desentralisasi pendidikan memberikan wewenang yang luas kepada sekolah untuk pengambilan keputusan bersama termasuk guru. Dengan demikian, peran serta guru dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran (Rivai, V. & Murni, S., 2012: 146).
Ada beberapa penelitian yang menunjukan bahwa desentralisasi pendidikan berpengaruh positif terhadap kualitas pendidikan. Di antaranya adalah hasil penelitian-penelitian yang dipublikasikan oleh USAID (t.t: 8-12). Hasil penelitian itu meliputi, penelitian yang dilakukan oleh Educo pada tahun 2000 dan Nikaragua tahun 1999, secara luas membuat kesimpulan bahwa ada pengaruh positif dan hubungan yang signifikan secara statistik antara tingkat pengambilan keputusan terhadap prestasi siswa dan juga mengukur pengambilan keputusan kepegawaian guru dan pemantauan kegiatan guru. Selanjutnya adalah penelitaian yang telah dilakukan oleh PEC dan AGE di Meksiko tahun 2006 dan Gropello di Chili tahun 2002 menunjukan bahwa desentralisasi meningkatkan kinerja sekolah dan prestasi siswa. Kemudian hasil studi Galiani dan Schargrodsky tahun 2002 di Argentina  menunjukan bahwa sekolah desentralisasi memiliki dampak lebih baik pada peningkatan rata-rata nilai ujian siswa dibandingkan dengan sekolah sentralisasi. Terakhir adalah hasil studi yang dilakukan di Ethiopia pada tahun 2002, menunjukan bahwa angka partisipasi dunia belajar untuk usia belajar anak meningkat lebih dari 40 persen setelah empat tahun.
2.    Dampak Negatif
Desentralisasi pendidikan tidak selalu memberikan dampak positif dalam peningkatan kualitas pendidikan tetapi juga dampak negatif. Beberapa dampak negatif desentralisasi pendidikan sebagai berikut: Pertama, dikemukakan oleh USAID berdasarkan hasil penelitiannya yang mengatakan bahwa dalam hal pembiayaan, desentralisasi membutuhkan pembiyaan yang tidak sedikit sehingga perbedaan kapasitas fiskal di tingkat lokal dapat membuat kesenjangan pengeluaran dan penghasilan pendidikan (USAID, t.t: 1). Kedua, hasil studi lain yang dilakukan di Sao Paulo, Brazil ditemukan bahwa desentralisasi memperlebar kesenjangan antara sekolah yang baik dan buruk (Madeira, 2007: 19-24). Ketiga, tidak meratanya kemampuan keuangan daerah (Pendapatan Asli Daerah) dalam menopang pembiayaan pendidikan di daerahnya, terutama daerah-daerah miskin (Albab, U., 2005: 4).  Dari ketiga dampak negatif tersebut lebih menekankan pada kesenjangan antara penyelenggaraan desentralisasi pendidikan yang mahal dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

B.       Keberlangsungan Desentralisasi Pendidikan di Indonesia
Pada awalnya desentralisasi pendidikan tidak berjalan sesuai dengan harapan, dikarenakan kebijakan desentralisasi pendidikan tidak diimbangi dengan penyiapan sumber daya manusia di lapangan. Oleh karena itu,  pendelegasian wewenang urusan pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah cenderung masih dimaknai sebagai penyerahan kekuasaan daripada penyerahan aspek pelayanan. Akibatnya Pemerintah Daerah (khususnya Kabupaten/Kota) berpotensi menjadi penguasa tanpa batas. Hal tersebut tercermin pada implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan di banyak daerah yang tidak sesuai dengan semangat kebijakan itu sendiri. Banyak ditemukan daerah malah memperpanjang “meja birokrasi” hingga tidak mustahil memunculkan resiko kebocoran anggaran (Albab, U., 2005: 1-2).
            Desentralisasi pendidikan di Indonesia dapat di lihat dari program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diperkenalkan pada tahun 1999 oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui proyek rintisan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), sehingga MBS merupakan model otonomi pendidikan yang diterapkan di sekolah. MBS merupakan strategi yang dipilih untuk meningkatkan keunggulan dalam pengelolaan pendidikan. Hal tersebut dimuat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 51 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Manajemen Berbasis Sekolah menekankan keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mengelola sekolah, sehingga terbentuklah komite sekolah sebagai wadah penyaluar aspirasi orang tua dan masyarakat. Berdasarkan hasil kajian Bjork (2009) dan Pradhan, et al. (2011), dan Chen et al., tentang partisipasi masyarakat dan MBS di Indonesia terutama yang berkaitan dengan komite sekolah menunjukan hasil sebagai berikut:
1.    Komite sekolah dilihat hanya sebagai pengganti Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) dengan fungsi utamanya sebagai penggalang dana.
2.    Banyak orang tua menerima informasi terbatas dari sekolah dan memiliki kesadaran yang rendah tentang potensi mereka untuk berperan dalam menjamin akuntabilitasnya di mata masyarakat.
3.    Kepala sekolah pun sering kali masih menempatkan kepentingan akuntabilitas mereka secara vertikal (ke kabupaten/kota) daripada secara horizontal (terhadap masyarakat).
Namun studi kualitatif tentang partisipasi masyarakat yang dilakukan Bjork (2009) dan bukti-bukti terbaru lainnya menunjukkan bahwa MBS dan komite sekolah yang mendukungnya mempunyai pengaruh yang semakin penting dalam penyediaan dan kualitas pendidikan (BEC-TF, 2011: 2).
Komite sekolah merupakan pengganti BP3 yang dituangkan dalam peraturan menteri pendidikan nasional nomor 044/U/2002 tentang dewan pendidikan dan komite sekolah, telah diterapkan di hampir seluruh sekolah di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukan bahwa 99% sekolah dan madrasah yang ada di Indonesia telah memiliki komite sekolah (Vernez, G., Karam, R., & Marshall, J. H., 2012: 41). Ini merupakan sesuatu yang positif dalam peningkatan partisifasi orang tua dan masyarakat untuk peningkatan kualitas pendidikan.
Adapun tugas dan peran komite sekolah berdasarkan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 56 ayat 3 mengemukakan bahwa komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidik pada tingkat satuan pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas, hasil kajian yang dilakukan oleh Albab, U. (2005) yang pada saat itu desentralisasi pendidikan di Indonesia kurang berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan ruh kebijakan tersebut, maka hal tersebut menjadi terbalik pada tahun-tahun berikutnya. Bukti perbaikan desentralisasi pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari keberhasilan pemerintah dalam program Manajemen Berbasis Sekolah yang merupakan implementasi dari desentralisasi pendidikan. Berdasarkan  laporan USAID yang telah melakukan kerjasama dengan pemerintah Indonesia dalam melakukan program pendidikan dasar desentralisasi (DBE1) pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 menunjukan bahwa telah ada perubahan ke arah positif dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah dapat dilakukan secara sukses di Indonesia dan hal ini mendukung perbaikan mutu manajemen dan tatalayanan di sekolah/madrasah. Dalam konteks ini, DBE1 menguatkan sistem pendidikan di Indonesia. Sebagai hasilnya, sekolah/madrasah mitra maupun sekolah/madrasah yang terlibat dalam diseminasi memiliki manajemen yang lebih terbuka, transparan, dan partisipatif, memiliki perencanaan yang lebih baik dan berdasarkan analisis data dan dilakukan dengan berkonsultasi kepada warga masyarakat, dan partisipasi yang lebih baik dari warga setempat melalui adanya komite sekolah (USAID, t.t: 22).
Namun demikian, pelaksanaan MBS tidak sepenuhnya berhasil. Setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan MBS. Pertama, pengelola pendidikan masih menerapkan pola lama dimana administrator sebagai penentu kebijakan, guru sebagai pengajar, dan orang tua sebagai pendukung kebijakan. Kedua, sekolah memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan penghargaan dan pendisiplinan murid daripada pengajaran dan kurikulum (Rivai, V. & Murni, S., 2012: 146-147). Hal tersebut sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas bahwa kecenderungan kualitas SDM yang kurang memadai dan kurangnya pendapatan asli daerah untuk membiayai pengimplementasian desentralisasi pendidikan melalui MBS menjadi faktor penghambat keberhasilan implementasi MBS. Akan tetapi pada faktanya di Indonesia, desentralisasi pendidikan melalui MBS cenderung dipaksakan bagi semua tingkat kapabilitas daerah atau sekolah yang padahal sebagian dari daerah/sekolah belum mampu menjalankan program tersebut dikarenakan pendapatan daerah yang belum bisa memenuhi kebutuhan pembiayaan pendidikan atau tingkat SDM sekolah yang kurang memadai.


Albab, U. (2005). Analisis SWOT kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia. Jurnal.

Basic Education Capacity Trust Fund (BEC-TF). (2011). Meningkatkan Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia. Jurnal.

Desforges, C. & Abouchhar, A. (2003). The impact of parental involpment, parental support, and family education on pupil achievement and adjustment: A literature review. New York: Department for Education and Skills.

Dwiningrum, S. I. A. (2015). Desentralisasi dan partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hinsz, et al. (2006). Effects of decentralization on primary education: Phase I: A survey of East Asia and the Pacific Islands. UNICEF Regional Office for Asia and the Pacific.

Jalal, F. & Supriadi, D. (2001). Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Yogyakarta: Adi Cita.

Kunandar. (2007). Guru Profesional. Jakarta Utara: Rajawali Pers.

Madeira, R. (2007). The effects of decentralization on schooling: Evidence from the Sao Paulo state’s education reform. Sao Paulo: University of Sao Paulo.

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

________________. (2005). Undang-Undang nomor 14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen.

________________. (2007). Permendiknas nomor 13 tahun 2007, tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah.

Rivai, V. & Murni, S. (2012). Education management: Analisis teori dan praktik. Jakarta: Rajawali Pers.

USAID. (Tanpa tahun). Identifying the impact of education decentralization on the quality of education. USA: United State Agency for International Development.

______. (Tanpa tahun). Implementing School-Based Management in Indonesia: The DBE1 experience: 2005 – 2010. USA: United State Agency for International Development.

Vernez, G., Karam, R., & Marshall, J. H. (2012). Implementation of school-based management in Indonesia. Santa Monica: RAND Corporation.

Widodo, S. E. (2015). Manajemen pengembangan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lensa Ideologis untuk Menafsirkan Perubahan Politik dan Ekonomi yang Mempengaruhi Sekolah

Artikel ini merupakan rangkuman dari buku  Handbook of Research on Educational Administration yang ditulis oleh  Murphy, J. & Louis, ...