Kamis, 26 April 2018

Studi Kepemimpinan dan Peningkatan Sekolah

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Artikel ini memuat ringkasan singkat tentang studi kepemimpinan dan peningkatan sekolah dari buku Joseph Murphy & Karen Seashore Louis (1999) yang berjudul Handbook of Research on Educational Administration


METODE GENERASI BERIKUTNYA UNTUK STUDI KEPEMIMPINAN DAN PENINGKATAN SEKOLAH 

A. Kerangka Penelitian Kepemimpinan Sekolah
  1.  Tujuan dari ilmu adalah untuk memahami dunia dalam hal keteraturan hasil pengamatan.
  2. Positivisme logis dan "teori gerak" membingkai disiplin kuantitatif yang berorientasi pada administrasi pendidikan karena terjadi antara tahun 1950 s.d. 1960.
  3. Pada tahun 1988 ada sedikit perbedaan dalam pendekatan-pendekatan metodologis yang digunakan dalam studi administrasi pendidikan.
  4. Fungsionalisme menekankan sistem dan teori kontingensi, model rasional, pengambilan keputusan, dan positivis, atau disebut pandangan ilmu "obyektif".
  5. Kita harus mencatat pada awal ulasan ini bahwa para pendukung sekolah-sekolah telah difokuskan pada konseptualisasi bukan pada penjelasan empiris.


     B.    Konseptualisasi Penelitian Kepemimpinan Sekolah
  1. Secara historis, penelitian tentang kepemimpinan sekolah telah difokuskan pada pra-dominan   peran kepala sekolah, konseptualisasi pengetahuan, bingkai filsafat, orientasi penelitian, model kepemimpinan, dan metode.
  2. Pembicaraan Broady, positivis, interpretatif, dan teori kritis pengetahuan telah ditandai oleh penelitian sosial selama abad ke-20.
  3. Masing-masing telah melahirkan berbagai pendekatan teoritis untuk menyelidiki fenomena sosial (seperti fungsionalisme struktural, konflik politik, konstruktivisme, feminisme, postmodernism).
  4. Lima lensa yang digunakan dalam membingkai studi kepemimpinan sekolah dalam hal pertanyaan penelitian: a. Teori struktural-fungsional dan birokrasi-rasional; b. Konflik politik; c. Konstruktivis; d. Konstruktivis kritis, feminis dan budaya; e. Postmodern atau pasca-struktural.

Tabel 7.1
Kerangka Pendekatan Studi Kepemimpinan Sekolah



     C.     Struktur-Fungsionalisme dan Sistem Rasional Teori

  1.   Struktural-fungsionalisme berfokus pada hubungan pemetaan antara subsistem internal organisasi. Pendekatan ini menekankan pada pengidentifikasian fitur struktural yang membentuk kerangka kerja selama kegiatan organisasi berlangsung.
  2.       Orientasi penelitian struktural-fungsional kedua menyangkut studi tentang efek kepala sekolah. Ini adalah fokus pada perilaku kepala sekolah sebagai manajer pembelajaran dan administrator. 


     D.    Perspektif Konflik Politik Tentang Kepemimpinan

  1.  Fokus pada dimensi politik, hubungan peran di sekolah telah disebut "micropolitics".
  2.  Studi tentang micropolitics kepemimpinan sekolah memberikan perspektif baru tentang      bagaimana kontrol dan legitimasi kegiatan terungkap di tingkat sekolah.
  3.  Perspektif micropolitical meneliti sistem kepercayaan dari guru, orang tua, dan juga dari  siswa.


     E.    Perspektif Konstruktivis Tentang Kepemimpinan
Konstruktivis, atau orientasi pembuatan pengertian penelitian meneliti bagaimana para pemimpin dan orang lain dalam organisasi menciptakan pemahaman bersama tentang peran siswa di sekolah.
Budaya Masyarakat dan Kepemimpinan
Lensa budaya dapat menerangi aspek yang sebelumnya tidak diketahui dari peningkatan sekolah. Sebagai contoh, ada cukup banyak variasi di seluruh masyarakat tentang hasil yang diinginkan pendidikan. Kanada menempatkan lebih sedikit penekanan pada prestasi siswa sebagai hasil utama pendidikan daripada tetangga dekat mereka yaitu Amerika Serikat. Negara Asia Tenggara melihat transmisi sosial dan budaya sebagai hal yang lebih penting daripada tujuan akademik pendidikan.

F.  Isu Metodologis dalam Belajar Kepemimpinan Sekolah
Secara khusus, difokuskan pada:
1. Tren metode kuantitatif yang mempelajari kepemimpinan sekolah,
2. Tren kualitatif: ethnography dan fieldwork, studi kasus, narrative dan personal history, textual issues.


     G.    Tren Penggunaan Metode Kuantitatif untuk Mempelajari Kepemimpinan Sekolah
Hampir semua ulasan studi kuantitatif menggunakan beberapa bentuk cross-sectional, desain korelasi. Studi jenis ini di bawah desain yang luas dari penelitian non-experimental.                                      1. Konseptualisasi dan operasionalisasi variabel

o   Variabel dependen dan variabel independen.
o  Dependen variabel seperti hasil sekolah atau perbaikan dengan "mengungkap" variabel independen yang relevan.
o  Akhirnya, sebagai sebuah kelompok, studi ini telah mengidentifikasi variabel mediasi menjanjikan antara kepemimpinan sekolah dan efektivitas sekolah. Beberapa variabel mediasi RPE untuk studi meliputi pengembangan tujuan, partisipasi pembuatan keputusan, komitmen guru dan keahlian, pemantauan pelaksanaan perubahan, pengembangan staf, dan perubahan dalam praktek guru di kelas.
2.  Metode analisis data

Analisis menggunakan pendekatan beberapa variasi, seperti model persamaan                     struktural yang dapat mengungkap hubungan data yang dianalisis.

     H.     Tren Penggunaan Metode Kualitatif untuk Mempelajari Kepemimpinan Sekolah
Pendekatan kualitatif menawarkan jalan yang berguna untuk memahami bagaimana kepemimpinan didefinisikan dan diimplementasikan, bagaimana pemimpin dibentuk oleh latar belakang dan keyakinan.
1.      Etnografi dan kerja lapangan
Tujuannya adalah untuk mengungkapkan norma-norma budaya bersama dan nilai-nilai perilaku yang meliputi panduan masyarakat sekolah. Misalnya, untuk membantu membangun pemahaman kepemimpinan di sekolah.
2.      Studi kasus
             Penelitian kualitatif jenis ini bertujuan untuk menelitia keadaan dan kejadian yang ada di sekolah. Dalam hal ini mengenai kepemimpinan kepala sekolah di sekolah.
3.      Narasi dan sejarah pribadi
Manfaat dari pendekatan narasi dalam studi ini bahwa mereka kaya akan hal-hal yang berasal dari hubungan manusia di sekolah dan konteks pribadi pemimpin. Narasi juga dapat berguna dalam memahami pengambilan keputusan atau pemecahan masalah praktek kepemimpinan sekolah.
4.      Isu tekstual
Akar intelektual dari karya ini adalah analisis perilaku verbal dan nonverbal, budaya komunikasi dalam dan antar kelompok, analisis percakapan, dan analisis wacana. Hubungan antara peneliti dan subjek tentu memiliki beberapa dampak pada apa yang dilihat dan bagaimana itu diterjemahkan ke dalam teks.

I.  Masa Depan Studi Kepemimpinan dan Peningkatan Sekolah.
Termasuk negosiasi (konflik politik), metafora dan budaya (yang kita lihat sebagai pembuatan akal), dan konserfativ kritis, dan teori feminis. Peneliti disarankan untuk flexibel dalam penedekatannya  terhadap struktur pengetahuan (positivis, interpretiv, dan kritikan) dan kesesuaian lensa-lensa teori (fungsi struktur, konstruktivis, feminis, postmodern). Pendekatan-pendekatan ini telah dibuat untaian penelitian yang dapat diidentifikasi dari beberapa macam kedalaman dalam penyelidikan kepemimpinan sekolah.
Yang meliputi studi tentang sifat pekerjaan pemimpin, dampak kepemimpinan, konstruksi sosial kepemimpinan, kontribusi kepemimpinan yang lebih luasnya isu tentang keadilan sosial, dan kepemimpinan lintas budaya.
          Peneliti dalam administrasi pendidikan jangan memulai dengan teori pengembangan yang baik. Sebagai gantinya, kerangka konseptual telah cukup menjadi orientasi untuk mengakomodasi interpretasi data empirik dalam administrasi pendidikan. Sebuah tantangan bagi peneliti untuk menemukan bentuk studi yang cocok dalam penggunaan metodologi-metodologi dan perspektiv filosofi berbeda.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Referensi:

Murphy, J. & Louis, K. S. (1999). Handbook of Research on Educational Administration Second Edition. San Francisco: Jossey-Bass.

Jumat, 20 April 2018

Mengidentifikasi Dampak Desentralisasi Pendidikan terhadap Kualitas Pendidikan


A.      Dampak Desentralisasi Pendidikan terhadap Kualitas Pendidikan
            Penerapan desentralisasi pendidikan memiliki dampak positif dan negatif. Adapun penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:
1.    Dampak Positif
      Ada beberapa dampak positif dari penerapan desentralisasi pendidikan, yaitu meningkatkan efektivitas sekolah, orang tua lebih terlibat dalam pengelolaan pendidikan, meningkatkan daya saing yang tinggi, dan wewenang pengambilan kebijakan semakin luas bagi sekolah.
           Dampak positif pertama adalah meningkatkan efektifitas sekolah. Adapun karakteristik sekolah efektif yang tinggi meliputi: 1) prestasi, orientasi, harapan yang tinggi, 2) kepemimpinan pendidikan, 3) konsensus dan kohesi di antara staf, 4) kualitas kurikulum/kesempatan untuk belajar, 5) iklim sekolah, 6) suasana tertib, 7) orientasi yang efektif dan hubungan internal yang baik, 8) potensi yang evaluatif, 9) keterlibatan orang tua, 10) iklim kelas, dan 11) waktu belajar yang efektif (USAID, t.t: 5-6). Dengan demikian, sekolah yang efektif merupakan hasil dari keefektifan komponen-komponen sekolah.
       Kedua berkenaan dengan keterlibatan orang tua di sekolah. Desentralisasi akan melibatkan orang tua dalam mencapai pendidikan yang berkualitas. Hal tersebut dikarenakan orang tua dapat memantau kegiatan siswa di rumah maupun di sekolah. Dengan demikian keterlibatan orang tua akan memberi efek positif dalam proses belajar, penyesuaian di sekolah, dan prestasi siswa (Desforges, C. & Abouchhar, A., 2003: 4). Dengan kata lain, komunikasi yang terjalin antara sekolah dan orang tua akan lebih baik, sehingga sekolah lebih mudah memberikan informasi tentang perkembangan siswa dan di pihak lain orang tua akan lebih mudah mendapatkan informasi mengenai perkembangan anaknya.
Ketiga yaitu meningkatkan daya saing yang tinggi. Jiwa dan ruh kebijakan desentralisasi pendidikan telah lama diidamkan oleh masyarakat, khususnya dalam menghadapi era persaingan bebas yang mengharuskan masyarakat kita memiliki kompetensi dan daya kompetitif yang tinggi (Albab, U., 2005: 3). Maka antarsekolah akan berlomba-lomba meningkatkan kualitas sekolah sehingga menghasilkan lulusan berkualitas yang dapat dimanfaatkan di dunia kerja. 
       Keempat yaitu dampak positif yang dilihat dari aspek Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang merupakan implementasi dari desentralisasi pendidikan. Desentralisasi pendidikan memberikan wewenang yang luas kepada sekolah untuk pengambilan keputusan bersama termasuk guru. Dengan demikian, peran serta guru dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran (Rivai, V. & Murni, S., 2012: 146).
Ada beberapa penelitian yang menunjukan bahwa desentralisasi pendidikan berpengaruh positif terhadap kualitas pendidikan. Di antaranya adalah hasil penelitian-penelitian yang dipublikasikan oleh USAID (t.t: 8-12). Hasil penelitian itu meliputi, penelitian yang dilakukan oleh Educo pada tahun 2000 dan Nikaragua tahun 1999, secara luas membuat kesimpulan bahwa ada pengaruh positif dan hubungan yang signifikan secara statistik antara tingkat pengambilan keputusan terhadap prestasi siswa dan juga mengukur pengambilan keputusan kepegawaian guru dan pemantauan kegiatan guru. Selanjutnya adalah penelitaian yang telah dilakukan oleh PEC dan AGE di Meksiko tahun 2006 dan Gropello di Chili tahun 2002 menunjukan bahwa desentralisasi meningkatkan kinerja sekolah dan prestasi siswa. Kemudian hasil studi Galiani dan Schargrodsky tahun 2002 di Argentina  menunjukan bahwa sekolah desentralisasi memiliki dampak lebih baik pada peningkatan rata-rata nilai ujian siswa dibandingkan dengan sekolah sentralisasi. Terakhir adalah hasil studi yang dilakukan di Ethiopia pada tahun 2002, menunjukan bahwa angka partisipasi dunia belajar untuk usia belajar anak meningkat lebih dari 40 persen setelah empat tahun.
2.    Dampak Negatif
Desentralisasi pendidikan tidak selalu memberikan dampak positif dalam peningkatan kualitas pendidikan tetapi juga dampak negatif. Beberapa dampak negatif desentralisasi pendidikan sebagai berikut: Pertama, dikemukakan oleh USAID berdasarkan hasil penelitiannya yang mengatakan bahwa dalam hal pembiayaan, desentralisasi membutuhkan pembiyaan yang tidak sedikit sehingga perbedaan kapasitas fiskal di tingkat lokal dapat membuat kesenjangan pengeluaran dan penghasilan pendidikan (USAID, t.t: 1). Kedua, hasil studi lain yang dilakukan di Sao Paulo, Brazil ditemukan bahwa desentralisasi memperlebar kesenjangan antara sekolah yang baik dan buruk (Madeira, 2007: 19-24). Ketiga, tidak meratanya kemampuan keuangan daerah (Pendapatan Asli Daerah) dalam menopang pembiayaan pendidikan di daerahnya, terutama daerah-daerah miskin (Albab, U., 2005: 4).  Dari ketiga dampak negatif tersebut lebih menekankan pada kesenjangan antara penyelenggaraan desentralisasi pendidikan yang mahal dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

B.       Keberlangsungan Desentralisasi Pendidikan di Indonesia
Pada awalnya desentralisasi pendidikan tidak berjalan sesuai dengan harapan, dikarenakan kebijakan desentralisasi pendidikan tidak diimbangi dengan penyiapan sumber daya manusia di lapangan. Oleh karena itu,  pendelegasian wewenang urusan pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah cenderung masih dimaknai sebagai penyerahan kekuasaan daripada penyerahan aspek pelayanan. Akibatnya Pemerintah Daerah (khususnya Kabupaten/Kota) berpotensi menjadi penguasa tanpa batas. Hal tersebut tercermin pada implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan di banyak daerah yang tidak sesuai dengan semangat kebijakan itu sendiri. Banyak ditemukan daerah malah memperpanjang “meja birokrasi” hingga tidak mustahil memunculkan resiko kebocoran anggaran (Albab, U., 2005: 1-2).
            Desentralisasi pendidikan di Indonesia dapat di lihat dari program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diperkenalkan pada tahun 1999 oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui proyek rintisan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), sehingga MBS merupakan model otonomi pendidikan yang diterapkan di sekolah. MBS merupakan strategi yang dipilih untuk meningkatkan keunggulan dalam pengelolaan pendidikan. Hal tersebut dimuat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 51 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Manajemen Berbasis Sekolah menekankan keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mengelola sekolah, sehingga terbentuklah komite sekolah sebagai wadah penyaluar aspirasi orang tua dan masyarakat. Berdasarkan hasil kajian Bjork (2009) dan Pradhan, et al. (2011), dan Chen et al., tentang partisipasi masyarakat dan MBS di Indonesia terutama yang berkaitan dengan komite sekolah menunjukan hasil sebagai berikut:
1.    Komite sekolah dilihat hanya sebagai pengganti Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) dengan fungsi utamanya sebagai penggalang dana.
2.    Banyak orang tua menerima informasi terbatas dari sekolah dan memiliki kesadaran yang rendah tentang potensi mereka untuk berperan dalam menjamin akuntabilitasnya di mata masyarakat.
3.    Kepala sekolah pun sering kali masih menempatkan kepentingan akuntabilitas mereka secara vertikal (ke kabupaten/kota) daripada secara horizontal (terhadap masyarakat).
Namun studi kualitatif tentang partisipasi masyarakat yang dilakukan Bjork (2009) dan bukti-bukti terbaru lainnya menunjukkan bahwa MBS dan komite sekolah yang mendukungnya mempunyai pengaruh yang semakin penting dalam penyediaan dan kualitas pendidikan (BEC-TF, 2011: 2).
Komite sekolah merupakan pengganti BP3 yang dituangkan dalam peraturan menteri pendidikan nasional nomor 044/U/2002 tentang dewan pendidikan dan komite sekolah, telah diterapkan di hampir seluruh sekolah di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukan bahwa 99% sekolah dan madrasah yang ada di Indonesia telah memiliki komite sekolah (Vernez, G., Karam, R., & Marshall, J. H., 2012: 41). Ini merupakan sesuatu yang positif dalam peningkatan partisifasi orang tua dan masyarakat untuk peningkatan kualitas pendidikan.
Adapun tugas dan peran komite sekolah berdasarkan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 56 ayat 3 mengemukakan bahwa komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidik pada tingkat satuan pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas, hasil kajian yang dilakukan oleh Albab, U. (2005) yang pada saat itu desentralisasi pendidikan di Indonesia kurang berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan ruh kebijakan tersebut, maka hal tersebut menjadi terbalik pada tahun-tahun berikutnya. Bukti perbaikan desentralisasi pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari keberhasilan pemerintah dalam program Manajemen Berbasis Sekolah yang merupakan implementasi dari desentralisasi pendidikan. Berdasarkan  laporan USAID yang telah melakukan kerjasama dengan pemerintah Indonesia dalam melakukan program pendidikan dasar desentralisasi (DBE1) pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 menunjukan bahwa telah ada perubahan ke arah positif dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah dapat dilakukan secara sukses di Indonesia dan hal ini mendukung perbaikan mutu manajemen dan tatalayanan di sekolah/madrasah. Dalam konteks ini, DBE1 menguatkan sistem pendidikan di Indonesia. Sebagai hasilnya, sekolah/madrasah mitra maupun sekolah/madrasah yang terlibat dalam diseminasi memiliki manajemen yang lebih terbuka, transparan, dan partisipatif, memiliki perencanaan yang lebih baik dan berdasarkan analisis data dan dilakukan dengan berkonsultasi kepada warga masyarakat, dan partisipasi yang lebih baik dari warga setempat melalui adanya komite sekolah (USAID, t.t: 22).
Namun demikian, pelaksanaan MBS tidak sepenuhnya berhasil. Setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan MBS. Pertama, pengelola pendidikan masih menerapkan pola lama dimana administrator sebagai penentu kebijakan, guru sebagai pengajar, dan orang tua sebagai pendukung kebijakan. Kedua, sekolah memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan penghargaan dan pendisiplinan murid daripada pengajaran dan kurikulum (Rivai, V. & Murni, S., 2012: 146-147). Hal tersebut sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas bahwa kecenderungan kualitas SDM yang kurang memadai dan kurangnya pendapatan asli daerah untuk membiayai pengimplementasian desentralisasi pendidikan melalui MBS menjadi faktor penghambat keberhasilan implementasi MBS. Akan tetapi pada faktanya di Indonesia, desentralisasi pendidikan melalui MBS cenderung dipaksakan bagi semua tingkat kapabilitas daerah atau sekolah yang padahal sebagian dari daerah/sekolah belum mampu menjalankan program tersebut dikarenakan pendapatan daerah yang belum bisa memenuhi kebutuhan pembiayaan pendidikan atau tingkat SDM sekolah yang kurang memadai.


Albab, U. (2005). Analisis SWOT kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia. Jurnal.

Basic Education Capacity Trust Fund (BEC-TF). (2011). Meningkatkan Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia. Jurnal.

Desforges, C. & Abouchhar, A. (2003). The impact of parental involpment, parental support, and family education on pupil achievement and adjustment: A literature review. New York: Department for Education and Skills.

Dwiningrum, S. I. A. (2015). Desentralisasi dan partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hinsz, et al. (2006). Effects of decentralization on primary education: Phase I: A survey of East Asia and the Pacific Islands. UNICEF Regional Office for Asia and the Pacific.

Jalal, F. & Supriadi, D. (2001). Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Yogyakarta: Adi Cita.

Kunandar. (2007). Guru Profesional. Jakarta Utara: Rajawali Pers.

Madeira, R. (2007). The effects of decentralization on schooling: Evidence from the Sao Paulo state’s education reform. Sao Paulo: University of Sao Paulo.

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

________________. (2005). Undang-Undang nomor 14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen.

________________. (2007). Permendiknas nomor 13 tahun 2007, tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah.

Rivai, V. & Murni, S. (2012). Education management: Analisis teori dan praktik. Jakarta: Rajawali Pers.

USAID. (Tanpa tahun). Identifying the impact of education decentralization on the quality of education. USA: United State Agency for International Development.

______. (Tanpa tahun). Implementing School-Based Management in Indonesia: The DBE1 experience: 2005 – 2010. USA: United State Agency for International Development.

Vernez, G., Karam, R., & Marshall, J. H. (2012). Implementation of school-based management in Indonesia. Santa Monica: RAND Corporation.

Widodo, S. E. (2015). Manajemen pengembangan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kamis, 19 April 2018

Hubungan Desentralisasi Pendidikan dengan Kualitas Pendidikan


A.      Hubungan Desentralisasi Pendidikan dengan Kualitas Pendidikan
            Desentralisasi pendidikan yang merupakan bagian dari otonomi daerah diharapkan dapat merubah pola pengelolaan pendidikan menjadi lebih baik, yaitu dengan cara memberikan kekuasaan dan keleluasaan kepada pemerintah daerah dan sekolah dalam pengambilan keputusan. Hal ini untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan berbagai pihak dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Dengan adanya desentralisasi pendidikan, orang tua dan masyarakat memungkinkan untuk berperan serta dan berkontribusi banyak dalam menentukan kebijakan dan penyusunan kurikulum sekolah, sehingga sekolah dapat mengakomodir masukan dan saran dari masyarakat demi tercapainya pendidikan yang berkualitas.
Berdasarkan tujuan desentralisasi yang sangat baik, terdapat beberapa alasan diadakannya desentralisasi dalam bidang pendidikan yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.    Pembiayaan pendidikan membahas masalah bagaimana sumber daya untuk pendidikan dibangkitkan.
2.    Peningkatan penawaran efisiensi/efektivitas dengan bagaimana sumber daya pendidikan digunakan. 
3.    Redistribusi kekuasaan politik bertujuan untuk meningkatkan legitimasi lembaga dengan mendistribusikan kekuasaan yang memberi warga peran manajemen yang lebih besar. 
4.    Peningkatan kualitas hasil bergerak lebih dekat dengan kebutuhan pengambilan keputusan masing-masing sekolah dan dapat fokus juga pada perbedaan budaya lokal dan pembelajaran lingkungan hidup. 
5.    Peningkatan inovasi memiliki jangkauan yang lebih luas terhadap penyedia pendidikan (Hinsz, et al., 2006: 4-5).
Rangkaian tujuan desentralisasi yang dikemukakan Hinsz, et al. menunjukan peningkatan kualiatas pendidikan di sekolah. Poin pertama dan kedua dari tujuan desentralisasi pendidikan di atas mengemukakan tentang pengelolaan pendidikan yang mengedepankan pemanfaatan potensi sumber daya pendidikan lokal dan mempermudah pengontrolan efisiensi dan efektivitas pada sekolah. Poin ketiga mengharuskan sekolah mengikutsertakan keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam mengelola pendidikan. Poin keempat mengindikasikan bahwa dengan adanya desentralisasi pendidikan maka keputusan yang diambil oleh sekolah dapat berlandaskan atas kebutuhan dan budaya lokal masyarakat sekitar sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan pendekatan kontekstual. Kemudian poin terakhir yaitu mengharuskan para pengelola pendidikan memberikan kontribusi yang besar dan luas terhadap peningkatan inovasi pendidikan.
            Di sisi lain hubungan desentralisasi pendidikan dengan kualitas pendidikan dapat dilihat dari Menejemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Setidaknya ada empat tujuan berdasarkan MPMBS (Dwiningrum, S. I. A., 2015: 26). Keempat tujuan itu meliputi:
1.      Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia;
2.      Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan bersama dengan pihak sekolah;
3.      Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
4.      Meningkatkan kompetisi yang sehat antarsekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
            Untuk dapat mencapai kualitas yang diharapkan maka peran serta orang tua dan masyarakat diperlukan, sehingga memungkinkan sekolah lebih terbuka dan akuntabel. Akuntabilitas merupakan bagian dari sistem yang diterapkan dalam desentralisasi pendidikan. Peningkatkan akuntabilitas sekolah memungkinkan untuk memperpendek jarak antara sekolah dengan orang tua siswa, masyarakat, pemerintah, dan pihak lain yang memiliki keterkaitan dengan sekolah.  Perhatikan gambar berikut.



Keterangan:
1 :      Mandat, tujuan, hukum, ekspektasi prestasi.
2 :      Informasi ekspektasi terhadap prestasi.
3 :   Norma dan standar, tujuan spesifik, sumber, promosi dan peningkatan gaji, dukungan terhadap standar.
4 :      Informasi kinerja sekolah terhadap tujuan.
5 :      Anak didik dan bukti bahwa mereka dididik.
6 :    Pemerintahan, perhatian, pilihan lebih penyedia, termasuk pendapat atas kinerja guru dan perkembangannya.
7 :      Pajak, permintaan langsung, perwakilan parlementer.
8 :      Informasi dalam perkembangannya.
Dari gambar di atas dapat kita lihat peranan dan tanggung jawab dari masing-masing pihak dalam menerapkan sistem yang akuntabel. Koordinasi dan keterbukaan yang dilakukan oleh satu pihak dapat memberikan akses kepada pihak lain untuk menemukan informasi. Selain itu, tanda panah dua arah yang menggambarkan komunikasi dua arah memungkinkan satu pihak dengan pihak lain saling mengoreksi, mengawasi, dan mengevaluasi. Dengan demikian pendidikan publik yang akuntabel cenderung akan melibatkan banyak pihak untuk ikut berpartisipasi mengelola pendidikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.

B.       Pengelolaan Pendidikan dalam Sistem Desentralisasi
Dalam sistem desentralisasi, sekolah diberikan kewenangan yang luas untuk mengelola sekolahnya, sehingga sekolah dituntut untuk memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Sumber daya manusia yang terdapat di sekolah di antaranya adalah kepala sekolah selaku pimpinan sekolah dan guru selaku pemberi pelayanan pendidikan kepada siswa. Menurut Permendiknas nomor 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, ada lima dimensi kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah yang meliputi, kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial. Kaitannya dengan kompetensi manajerial, maka seorang kepala sekolah harus mampu merancang dan merencanakan kebutuhan sumber daya manusia. Perencanaan sumber daya manusia merupakan proses analisis dan identifikasi akan kebutuhan SDM, sehingga organisasi tersebut dapat menentukan langkah yang harus diambil untuk mencapai tujuan (Widodo, S. E., 2015: 33).
Salah satu hasil dari perencanaan sumber daya manusia adalah perekrutan guru yang profesional. Guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal (Kunandar, 2007: 46-47). Ciri dari guru profesional adalah dengan memenuhi empat kompetensi guru. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa kompetensi guru sebagai mana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kepala sekolah dan guru yang berkualitas serta SDM lainnya yang ada di sekolah dapat menunjang penerapan pendidikan yang desentralistik yaitu meliputi, satu kesatuan dalam keragaman, deregulatif, kolaboratif-tim yang cerdas, koordinatif, demokratis, berbasis kualitas, pengambilan keputusan bottom-up, menekankan dimensi mempengaruhi, dan memfasilitasi kegiatan pendidikan, mengutamakan tim kerja yang cerdas, berani dan piawai mengelola resiko, menekankan pemerintah dan pemberdayaan jajaran pendidikan, mengutamakan motivasi dan pengembangan potensi diri, mengutamakan informasi terbagi kepada semua pihak, dan berorientasikan keunggulan (Dwiningrum, S. I. A., 2015: 86-87). Apabila penerapan desentralisasi tidak diikuti dengan kualitas SDM sekolah yang baik maka tujuan dari desentralisasi cenderung sulit dicapai. Sebagai contoh adalah penelitian yang dilakukan oleh Galiani dan Schargrodsky yang menemukan bahwa keuntungan desentralisasi dapat melemah ketika pemerintah daerah kurang memiliki kemampuan teknis. Sehingga efeknya bisa negatif untuk sekolah yang terletak di provinsi miskin dan pengelolaan yang buruk, yang diukur dengan defisit fiskal.
Dalam upaya menerapkan desentralisasi pendidikan yang sesuai dengan harapan bersama, maka perlu adanya hal-hal yang dikuatkan sebagai tanggung jawab bersama, yaitu adanya pembagian yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah, adanya peran serta masyarakat dalam pendidikan, penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah dengan mengelola pendidikan terbatas, pendayagunaan bersama sumber daya pendidikan, menjalin hubungan simbiotik antara pemerintah, politisi, penyelenggara pendidikan, pemerhati pendidikan, LSM, yayasan-yayasan, dan yang terakhir adalah pengembangan infrastruktur sosial (social capital) (Jalal, F. & Supriadi, D., 2001: 99-101).
Dengan demikian pengelolaan pendidikan dalam sistem desentralisasi melibatkan banyak pihak. Pihak-pihak tersebut meliputi pemerintah, sekolah, orang tua, masyarakat dan pihak-pihak lain yang peduli terhadap pendidikan yang nantinya bisa berkontribusi besar bagi keberlangsungan pendidikan yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Albab, U. (2005). Analisis SWOT kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia. Jurnal.

Basic Education Capacity Trust Fund (BEC-TF). (2011). Meningkatkan Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia. Jurnal.

Desforges, C. & Abouchhar, A. (2003). The impact of parental involpment, parental support, and family education on pupil achievement and adjustment: A literature review. New York: Department for Education and Skills.

Dwiningrum, S. I. A. (2015). Desentralisasi dan partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hinsz, et al. (2006). Effects of decentralization on primary education: Phase I: A survey of East Asia and the Pacific Islands. UNICEF Regional Office for Asia and the Pacific.

Jalal, F. & Supriadi, D. (2001). Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Yogyakarta: Adi Cita.

Kunandar. (2007). Guru Profesional. Jakarta Utara: Rajawali Pers.

Madeira, R. (2007). The effects of decentralization on schooling: Evidence from the Sao Paulo state’s education reform. Sao Paulo: University of Sao Paulo.

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

________________. (2005). Undang-Undang nomor 14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen.

________________. (2007). Permendiknas nomor 13 tahun 2007, tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah.

Rivai, V. & Murni, S. (2012). Education management: Analisis teori dan praktik. Jakarta: Rajawali Pers.

USAID. (Tanpa tahun). Identifying the impact of education decentralization on the quality of education. USA: United State Agency for International Development.

______. (Tanpa tahun). Implementing School-Based Management in Indonesia: The DBE1 experience: 2005 – 2010. USA: United State Agency for International Development.

Vernez, G., Karam, R., & Marshall, J. H. (2012). Implementation of school-based management in Indonesia. Santa Monica: RAND Corporation.

Widodo, S. E. (2015). Manajemen pengembangan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lensa Ideologis untuk Menafsirkan Perubahan Politik dan Ekonomi yang Mempengaruhi Sekolah

Artikel ini merupakan rangkuman dari buku  Handbook of Research on Educational Administration yang ditulis oleh  Murphy, J. & Louis, ...